Minggu, 29 Januari 2012

PUISI-PUISI KEPADA


PEREMPUAN BERANGIN

seumpama bertamu juga debu-debu
dalam segenap mimpi dan tidurku
jemputlah, hai, perempuan berangin
jemputlah tubuh ringkih yang telah lupa
bagaimana cara membangunkan mata
bagaimana cara menyuburkan dusta.

dari jauh yang tak mungkin lagi ditempuh
aku menerbangkan layang-layang
dan di ketinggian, aku kehilangan angin
sudah kusebut, hei, perempuan berangin
biarlah angin tumbuh bersama ketinggian
layang-layang pun berhak mendapat sedikit
pelukan dan pengkhianatan
benang terulur panjang, namun turun tinggal bingkai.

aku putus jalur angin yang singgah tiap malam hendak berlalu
sungguh aku ingin sendiri saja menghadapi rasa pilu
jangan biarkan sisa tubuhmu yang tertinggal di saku baju
sejak keramaian yang kita ciptakan dalam sabtu yang layu
tak mampu menebus rindu yang terhalang hal-hal tabu
hai, perempuan berangin, perempuan yang dikutuk beratus ingin
perlukah menjadi satu bila akhirnya menjadi abu.

mari sejenak kita beristirahat dari kepedulian
biarkan batu-batu tetap mengganjal hati juga jantung
ada detakku yang tak ingin sampai kausamakan
ada banyak perasaan yang sebenarnya lebih baik samar
sebab  bagaimanapun kau sungguh tak berwujud
hanya sejuk ataupun gersang
yang sesekali singgah menggerayang badan.

SEBELUM PATAH HATI

sebelum ranting kayu tersungkur
di tanah lalu tak bisa lagi menusuk
tentulah ia paham
bagaimana berada di ketinggian

matahari yang datang tepat waktu
membunyikan alaram
di antara cahaya yang membelai dahan-dahan.
sekawanan burung singgah
membuat sarang
atau sekedar mengecupkan pagi.

sedalam apa akar mampu
menyerap inti-inti air
setinggi apa inti air mampu
menempuh pendakian.
di batang, di batang mereka bertemu
menyelesaikan sejumlah tanya
yang tak semestinya
mereka simpan atau mereka buang.

tentu kau merasa bahwa matahari
selalu datang tepat waktu untuk membangunkanmu tiap pagi
sekawanan burung yang singgah di dahan memainkan pertunjukan
yang lebih syahdu dari mimpi
akar dan air adalah sepasang kekasih yang tersenyum menjalani kutukan
kesetiaan yang abadi.

hanya saja, itu sebelum kau patah hati.

Batang Agam 5, 2011

DI SEBUAH TAMAN

di sebuah taman tengah kota
sepasang tubuh yang kasmaran sedang
memahami kesetiaan yang semestinya
mendalami cinta yang apa adanya.

sehelai daun dari ranting tua jatuh
di hadapan kaki mereka
menghadiahkan prasangka bahwa usia
tak membunuh dengan tiba-tiba.
namun, mereka hanya dapat mengira-ngira:
tentulah angin dan daun-daun
pernah saling ingin sebelum akhirnya
mengalah kepada dingin.

sebagaimana hujan, keremangan adalah
pemilik kehangatan yang rela meminjamkan tubuhnya.
bahkan dengan ikhlas menghadiahkan beberapa dekapan dan kecupan.

di sebuah taman tengah kota itu aku pernah mengajakmu.
mengajarkanmu memaknai kesepian.
dengan daun-daun yang tertahan kematian
atau dahan mati yang memaikan daun-daun.

sebagaimana dekapan, hujan adalah
kehangatan paling nyaman.
menghadiahkan kecupan dan kedipan.

dan sungguh, ini kali kesekian aku membangun taman dalam kenangan.

Tunggulhitam, 2011


DODOL GARUT
/R. Vien

di garut, dan mungkin dalam kesakitan perut
aku bertemu denganmu
si manis legit yang terduduk di depan rumah sakit
sambil melambaikan berbotol-botol intisari
seolah paham bahwa rumahsakit adalah
tempat yang paling pas buat begadang.

tubuhmu kebal angin malam
parumu tahan semua godaan
dan lidahmu semacam apotik.
di mana banyak racun yang terbungkus
dalam kemasan yang menarik.
aku ingin mengajakmu pulang
tapi kekasihmu terlanjur mendekam
dalam botol-botol minuman.
menenggaknya seperti menciumi dada kekasih

kekasihmu bukanlah kekasihmu
ia hanyalah titipan dari hati yang kasmaran dan kaupinjam berbulan-bulan
ialah penyakit di mana tak satupun rumah sakit bisa menjenguknya
ialah apotek yang kehabisan resep
ialah botol minuman yang hendak kuhantam ke kepalamu!

Kp. Kalawi, 2011
 

 PEUYEUM BANDUNG
/RH. Ilman

di perumpamaan ini,
kaulah si peuyeum bandung, si asam-asam manis
yang tumbuh dibiar hitungan hari dibesarkan bukit dan angin sejuk.

ayahmu telah lama abadi dan hidup selucu lelucon garing,
sebab itu hitam biji matamu (yang mengingatkanku
pada butir beras ketan hitam yang kita simpan di bawah ranjang,
dengan diam-diam mencari tahu secepat apa ia menjadi)
hidup sempurna di bawah terang bulan yang nyalang.

di perumpamaan ini,
kaulah si bulan terang, si pucat pasi
yang terlambat datang.
sejauh mata menengadah hanya percuma
yang ditandai langit-langit mabuk,
yang dikecupi malam-malam sialan.

ibumu telah lama sendiri,
dan adikmu  telah semakin menjadi putri.
sebab itu, pucat tubuhmu, sepucat perawan
di puncak bulan menenun kain panjang hingga subuh.
(lagi-lagi aku teringat segelas es peuyeum bandung
yang sesegukan di bawah bulan terang,
dan kau sedang asyik membunuh kecemasan)

bila di kotamu hujan sedang turun,
sementara aku baru jatuh dari daun
suguhkan aku
peuyeum bandung.
sebelum bulan pucat dan tubuhmu
menjelma sekawanan embun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar